Kamis, 14 Juni 2012

Radar Bogor Tentang Mihradi

Minggu, 01 April 2012 , 05:52:00
file:///D:/DATA%20JANUARI-FEBRUARI%202012/Radar%20Bogor%20Berita%20Mihradi.htm


JAKARTA - Kekhawatiran partai oposisi tentang ditambahkannya pasal berisi syarat untuk menaikkan BBM terbukti. Hanya beberapa jam setelah rapat paripurna selesai, berbagai pihak bersiap untuk “mengudeta” pasal 7 ayat 6 huruf a APBN-P 2012 itu. Gugatan ke Mahkmah Konstitusi (MK) pun disiapkan karena pasal itu dianggap bertentangan.

Sebelumnya, pasal tersebut diprotes politisi dari partai oposisi dalam rapat paripurna DPR, Sabtu (31/3) dini hari. Pasal tersebut dianggap pasal “setan” karena bertentangan dengan pasal 7 yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM. Pasal ini dianggap akal-akalan dan sengaja diselipkan agar pemerintah memiliki peluang menaikkan harga BBM.

Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Dia mengaku bakal langsung melakukan gugatan ke MK begitu perubahan undang-undang itu disahkan presiden. Menurut mantan Menteri Kehakiman dan HAM era presiden Megawati itu, tambahan huruf a menabrak Pasal 33 UUD 1945. “Sudah saya telaah dan menabrak UUD,” ujarnya.

Pelanggaran yang dimaksud Yusril adalah, pasal itu bertentangan dengan keputusan MK terhadap Pasal 28 UU Migas. Putusan MK menjelaskan kalau harga BBM tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Yusril menganggap kalau keberadaan pasal baru itu berarti menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar.

Seperti diberitakan sebelumnya, sidang paripurna menyepakati penambahan pasal berisi syarat kenaikan BBM. Yakni, dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen, pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan. Namun, oposisi menolak tambahan pasal karena dianggap inskonstitusional.

Saat sidang paripurna berjalan, Fraksi PDIP menganggap pasal itu siluman karena membohongi rakyat. Sebab, BBM pasti naik karena ICP Maret sudah mencapai USD 126 per barel. Di samping itu, tambahan pasal bakal memicu polemik baru di MK karena mudah ditumbangkan saat judicial review.

Nah, Yusril melihat celah besar dari pasal 7 ayat 6 huruf a tersebut. Dia yakin MK bakal membatalkan karena pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat. Disamping itu, dia juga memastikan telah dicederainya asas kepastian hukum dan keadilan. “Saya sedang menyiapkan draf uji formil dan materiilnya,” imbuhnya.

Namun, dia mengatakan kalau draf tersebut belum bisa diserahkan dalam waktu dekat. Yang pasti, begitu presiden mengesahkan perubahan undang-undang itulah saat tepat untuk memasukkan gugatan. Legal standing untuk mengajukan perkara tersebut adalah beberapa pengguna BBM bersubsidi yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar tambahan pasal itu.

Di samping itu, Yusril juga memastikan sudah memiliki banyak dukungan dari kalangan akademisi maupun pengacara. Untuk lawyer, mantan Mensesneg itu menyebut Dr Irman Putra Sidin, Dr Margarito Kamis, Dr Maqdir Ismail dan Dr Teguh Samudra sebagai pendukungnya. “Untuk ahli ada Professor Natabaya (Guru Besar Tata Negara UI, red),” terangnya.

Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin sepakat dengan langkah Yusril untuk melakukan judicial review. Pemerintah dinilai mencari alasan pembenaran rencana menaikkan BBM karena pasal 7 ayat 6 huruf a tidak menyelesaikan polemik. “Uji konstitusional memang perlu dilakukan,” terangnya kepada Jawa Pos.

Menurut dia, alasan subsidi BBM lebih baik digunakan rakyat miskin daripada rakyat kaya yang memiliki kendaraan juga dinilai tak rasional. Sebab, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan subsidi sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan memelihara fakir miskin adalah kewajiban lain di Pasal 34 UUD.

Dua hal berbeda itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah secara bersamaan. Bukan karena ingin memelihara fakir miskin dan anak telantar, lantas subsidi dicabut atau dikurangi. Kalau itu dilakukan, berarti pemerintah tidak menjalankan amanat pasal 33.

Kalau pun kenaikan sudah tidak terelakkan lagi, Irman menyarankan kepada presiden untuk memberikan pemahaman kepada rakyat. Tetapi, bukan berarti tidak ada taruhannya. Dia menyebut kalau presiden tidak hati-hati, jabatannya bisa berhenti sebelum waktunya. “Pasal itu tidak hanya tumpang tindih, tapi komplikasi seperti penyakit,” tegasnya.


DPR Lalai

Munculnya dua opsi mengenai pasal 7 ayat 6 a dalam RUU APBN-P 2012 ditanggapi Pakar Hukum Tata Negara dari Univesitas Pakuan (Unpak), Muhammad Mihradi. Ia mengatakan, keputusan untuk menambahkan poin a dalam pasal 7 ayat 6 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN. Selain itu juga, telah mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri dalam putusan mengenai pembatalan Pasal 28 ayat 2 UU No. 22/2001 Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menyebutkan penentuan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar masih berlaku hingga kini. MK membatalkan pasal tersebut pada 15 Desember 2004.

“Aturan yang dibatalkan MK intinya melarang penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar. Ini karena Pasal 28 Ayat 2 itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Jika benar pasal 7 ayat 6a menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan MK, maka DPR telah berbuat kesalahan besar,” terangnya.

Menurut Mihradi, jikapun harus menempuh mekanisme hukum, tentunya harus menunggu dulu hingga undang-undang tersebut telah disahkan dan masuk dalam lembaran negara. Karena telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga pembatalan Pasal 7 ayat 6Aa bisa saja terjadi. (rur/ara/jpnn)
 

Tidak ada komentar: