Jumat, 31 Oktober 2008

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Kali ini, DPRD Kota Bogor berencana mendorong raperda prakarsa tentang kesejahteraan sosial. Didalamnya mengatur pembinaan dan penyelenggaraan penanganan masalah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti anak jalan, gelandangan dan pengemis dan sebagainya.
Seperti biasa, dengan sedikit narsis---hehehe---saya dan senior saya, Edi Rohaedi, diminta membantu menjadi tenaga ahli perancangan dan kemarin rapat di puncak dengan Panleg DPRD dan disnakersos.
Ternyata terdapat masalah yang menuntut penanganan segera. (1) Kota Bogor yang berlimpah anak jalanan dan gelandangan serta pengemis--ditambah PSK, ternyata tidak memiliki satu pun panti, sementara banyuwangi memiliki tujuh panti. (2) Akibat ketiadaan panti, maka penanganan cenderung represif dan tidak menyelesaikan problem dan akar permasalahan. (3) tidak ada payung hukum---selevel perda---untuk menangani permasalahan PMKS. (4) adanya problem pengemis dan gelandangan yang bukan warga bogor (seperti dari indramayu) yang turut membuat kompleks permasalahan.
Dan masih ada timbunan problem. Tentu, kami dengan gelisah dan mencoba berikhtiar, untuk membantu memberikan payung hukum agar persoalan PMKS segera beres dan kita sesuai dengan komitmen Millenium Development Goals tahun 2015 terbebas dari kemiskinan. Doa dan ikhtiar kiranya perlu dimaksimalkan.

kesejahteraan dosen

Sekali-kali curhat menarik juga. Topik kini soal kesejahteraan dosen. Dalam suatu seminar, seorang pembicara buat plesetan "dosen itu singkatan: kerjanya satu dos (duz) tapi gajinya se-sen". Sebuah plesetan miris, tapi kenyataan. Apalagi, dosen perguruan tinggi swasta di daerah.
Sekilas memang, dari tampilan, seringkali publik tertipu. Seakan-akan penghasilan dosen tinggi dan layak. Namun, itu sisi gaib yang sebenarnya tidak demikian.
Bagi saya, ada bahaya besar ketika kesejahteraan dosen tidak dipostulasikan dan diberdayakan lebih baik. Pertama, mempengaruhi kualitas pengajaran dan konsentrasi dalam memberikan pengajaran. Kedua, membahayakan di dalam profesi, artinya, akan semakin banyak orang yang tidak memilih profesi dosen sebagai pekerjaan mulia. Meski uang bukan segalanya, tapi juga bukan berarti tiada guna.
Memang miris bila membanding negara-negara maju. Semua memproteksi pendidikan, memuliakan pengajarnya, menunjang kesejahteraan dan mendukung peningkatan kapasitas keilmuan. Tapi, Indonesia--semua seperti kena "kutuk". Pendidikan direndahkan, koruptor disanjung puja.
Tapi saya yakin, itu tidak lama. Sebab, seperti Vietnam, China dan India yang mengejar ketinggalan dengan mendorong kualitas pendidikan, maka kita--Indonesia--akan didesak hal serupa. Jika tidak akan musnah dari peta bangsa. Dan, itu terlihat oleh rencana-rencana sertifikasi dosen dan tunjangan dari pemerintah terhadap pekerjaan dosen. Namun, itu harus dengan percepatan--sebab dunia terlanjur lari tunggang langgang.
Yang lebih mesti berbenah adalah perguruan tinggi swasta di daerah. Mesti di isi oleh pengurus yayasan yang profesional (bukan pensiunan yang numpang hidup misalnya), mesti ada audit terbuka dengan stake holders dan mesti terbaca pula oleh konsumen---berapa sebenarnya dosen yang dikelas bicara hebat-hebat itu digaji oleh mereka. Jika perlu, yayasan yang hanya pengeksploitasi mungkin mesti ditimbang ulang untuk dikriminalisasikan.
Tentu apa yang saya tulis merupakan problem yang melanda perguruan tinggi swasta di mana-mana. Kembang kempis.
Entahlah....seperti angin lalu.....kadang semua perlu proses dengan tanda seru tiada henti......

Sabtu, 18 Oktober 2008

Pancasila, Masih Adakah?

Pancasila--yang dirumuskan 1 juni 1945--oleh Soekarno dan disepakati menjadi ideologi dan cita hukum bangsa Indonesia, hari-hari ini dalam kondisi kesepian. Ia seperti ditinggalkan di panti, jarang ditengok dan megap-megap. Mungkin, kita sebagai bangsa, lebih tertarik menggunakan kemeja dan jas orang lain, bisa itu neo liberal-kapitalistik, sosialisme atau sedikit agak komunis dan sebagainya. Tapi, kalau Pancasila? Muram.
Padahal, Pancasila merupakan common platform atau istilah Cak Nurcholis, kalimatun sawa, titik temu pelbagai kepentingan dari bangsa ini yang plural. Pancasila juga menjadi cita hukum di mana kalau mengikuti pendapat A Hamid S Attamimi, ia bisa menjadi bintang pemandu (leittern) bagi tegaknya hukum di tanah air. Sebab, Pancasila merupakan guiding principle dan kaidah evaluasi dan kritik baik bagi pembentukan hukum maupun penegakan hukum.
Mungkin, kita harus kembali mengingat sila-sila Pancasila. Merefleksikan dan mempraktikan dalam perkembangan bangsa ini. Untuk itu, setback ke jati diri merupakan keniscayaan. Sebab, bangsa yang abai pada ideologinya sendiri hanya akan menjadi "santapan' bangsa lain di dunia. Ia kehilangan identitas, seperti kehilangan KTP. Bisa sesat dibelantara globalisasi.
Bagaimana mempraktikan lagi falsafah Pancasila. Pertama, kita harus berwawasan terbuka, berfikir global dan bertindak lokal. Kedua, merenungi semua prilaku dan praktik bernegara apakah bersenyawa dengan Pancasilan. Ketiga, membangun iptek dan perekonomian dengan dasar Pancasila sehingga tercipta semangat kesejahteraan bersama dan keutuhan bangsa.
Mungkin, pelbagai statement di atas terasa klise. Tapi, tidak ada jalan lain untuk menuju perubahan lebih baik.

Jumat, 17 Oktober 2008

Maman S Mahayana

Kali ini saya ingin menulis tentang sosok kritikus sastra Indonesia tergolong wahid yakni Maman S Mahayana dari perspektif subjektif seorang mantan mahasiswanya dan pengagumnya. Bisa jadi ini menjadi profil yang bisa ditafsir dan dipetik nilai-nilai manfaat.
Saya mengenal Pa Maman, begitu saya menyebutnya, ketika kuliah di fakultas hukum universitas pakuan. Semula, saya tidak begitu kagum dan kurang peduli. Pertama, karena tampilannya yang cuek---agak sedikit lusuh waktu itu--dengan tas selendangnya. Kedua, gaya mengajarnya yang tidak dahsyat amat.
Saya pun tidak terlalu dekat Pa Maman.
Kalau tidak salah, saya mulai dekat beliau saat di suatu senja di akhir studi saya di fakultas hukum, beliau mendekati saya. Ia menanyakan tulisan saya yang dimuat di buletin hukum unpak. Beliau memuji saya dan menyemangati menulis. Sebagai info dan sedikit narsis, saya boleh dibilang satu-satunya waktu itu mahasiswa yang bisa lolos menulis di buletin hukum unpak yang selain saya, semua penulisnya berstatus dosen.
Dari situ kami akrab dan saya mulai menggali info, siapakah beliau.
Akhirnya, dari pelbagai sumber dan dokumen, saya terpukau. Ternyata, puluhan buku telah ia tulis di bidang sastra dan diterbitkan pelbagai penerbit besar seperti gramedia, grasindo dan sebagainya. pelbagai penghargaan diraih, terakhir di pemerintah Malaysia dan Indonesia.Pernah pada saya diperlihatkan sekitar 3 kotak besar rak yang isinya kliping tulisan sastra beliau yang dimuat di semua media nasional besar (kompas, media indonesia, suara pembaruan dan sebagainya) belum yang lokal. Pa maman selalu menghasut saya, kapan nulis, mana artikelnya kok sudah lama tidak terbit di kompas, ayo buku khan tulisanmu, berkaryalah! Pemikiran Pa maman tanpa beliau sadari mungkin, mewarnai sastra Indonesia. Saya akhirnya tahu, bahwa beliau menyelesaikan studi S1 dan S2 di UI dan dosen sastra UI (selain di univ.pakuan) yang amat bersahaja.
hampir semua sastrawan besar kawannya. Rumahnya adalah markas bagi calon penulis ataupun para penulis sohor dari pelbagai lingkungan.
Meski begitu, pa maman tetap bersahaja. Candanya khas, menggelitik dan sambil menyeruput kopi dan rokok, ia selalu memprovokasi anak-anak muda dan dosen junior seperti saya untuk berkarya. Tidak ada batas.
Pa Maman tetap bersahaja hingga kini. Tidak nampak gurat sedikit pun keangkuhan. Gaya santai dan cuek, namun pikiran kritis dan menukik dalam persoalan sastra dan bahasa Indonesia, sebuah ruang yang lama memudar ditikam zaman. Moga saya dapat mengikuti jejaknya.

Kamis, 16 Oktober 2008

HILANGNYA KEAGUNGAN MAHKAMAH AGUNG

Oleh Maman S Mahayana dan R Muhammad Mihradi
( Di Kirim Ke Kolom Teroka Harian Kompas)

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Mahkamah Agung, saat ini sedang dalam proses penggodokan DPR dan Pemerintah. Tarik ulur, negosiasi, kompromi sambil main mata, dan berbagai kepentingan lain, niscara mewarnai pembahasan materi RUU itu. Salah satu isu sentral yang menimbulkan polemik adalah usulan adanya perpanjangan usia pensiun hakim agung hingga mencapai 70 (tujuh puluh) tahun. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 11 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dirumuskan bahwa batas usia pensiun hakim agung adalah 65 tahun dan dapat diperpanjang sampai umur 67 tahun dengan syarat “memiliki prestasi luar biasa” serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter.
Dalam Penjelasan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan prestasi luar biasa dalam ketentuan ini, diatur dalam ketentuan MA sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Jelas, perumusan penjelasan Pasal 11 merupakan norma kabur dan cenderung dapat sewenang-wenang, karena penilaian mengenai “memiliki prestasi luar biasa” ternyata diserahkan kepada ketentuan yang dibuat MA sendiri. Ibarat pepatah “jeruk makan jeruk”, MA dinilai oleh dirinya sendiri.
Mengingat posisi MA –Mahkamah Agung—yang mengandaikan keagungan sebuah mahkamah, maka masalah usia pensiun hakim agung merupakan hal yang krusial dan rentan. Salah satu penyebabnya, menyangkut kualitas putusan dan kaderisasi di lingkungan peradilan. Bagi manusia, usia di atas 60 tahun adalah masa senja yang rawan. Secara fisik, ia tak lagi prima. Secara intelektual, ia umumnya tak cukup cakap lagi menghasilkan pemikiran cemerlang. Dan secara psikologis, ia kian dirundung kecemasan akan datangnya malaikat pencabut nyawa. Sebagai sunatullah, 80 % umat manusia di dunia ini, berakhir pada usia senja itu. Pada usia itu, manusia cenderung bersikap sangat subjektif, sekadar cari kemapanan, hidup tanpa gejolak, dan tak punya keberanian untuk segera memutuskan hal-hal penting yang mendesak. Segala gerakannya sudah makin lambat, karena berkecenderungan cari selamat. Itulah sebabnya, usia pensiun di negara mana pun di dunia, berkisar pada usia 60 tahun.
***
Persoalan yang lebih esensial dari usia pensiun hakim agung adalah bagaimana mensinergikan independensi peradilan dengan akuntabilitasnya plus integritas. Ketentuan Pasal 24, Ayat (1) UUD 1945 (Pasca-Perubahan) menegaskan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Konon, seperti ditulis Bagir Manan yang kini Ketua MA, kekuasaan kehakiman merupakan cabang pemerintahan negara terlemah dibandingkan cabang legislatif dan eksekutif. Legislatif memiliki hak anggaran, sedangkan eksekutif didukung sejumlah aparat pemerintah mulai dari polisi, jaksa hingga administrasi negara. Sedangkan kekuasaan kehakiman tidak memiliki itu. Bahkan, dalam melaksanakan putusannya pun, kekuasaan kehakiman tergantung pada pemerintah (eksekutif) (LelP, “Andai Saya Terpilih: Janji-Janji Calon Ketua MA dan Wakil Ketua MA,” 2002: 14).
Dengan konstruksi lemahnya kekuasaan kehakiman, sementara fungsinya begitu luhur dan mulia, yakni menegakkan hukum dan keadilan, maka MA perlu didukung sistem, manajemen dan kontrol kekuasaan kehakiman yang kokoh, berwibawa, dan segar. Di sinilah letak persoalannya. Hingga saat ini, kekuasaan kehakiman masih dinilai berpotensi korup dan mudah disuap.
Berbagai kasus suap mewarnai perjalanan kekuasaan kehakiman justru terjadi pada periode reformasi. Terakhir, kasus dugaan suap yang dilakukan Probosutedjo yang sempat menerpa Bagir Manan selaku Ketua MA, meski sampai kini belum terbukti secara yuridis. Belum lagi pelbagai putusan MA yang masih dianggap tidak saja mencederai keadilan masyarakat, bahkan boleh dikatakan, menistakan peraturan perundang-undangan. Ini dapat dilihat pada Putusan MA No. 02P/KPUD/2007 tentang perintah melakukan Pilkada ulang di Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja, padahal berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MA hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil suara dengan kembali menghitung ulang hasil Pilkada dan bukan memerintahkan Pilkada ulang.
Ironisnya lagi, di tengah karut-marut dunia peradilan kita, beberapa hakim agung mengalami perpanjangan usia pensiun dari 65 tahun ke 67 tahun. Dengan begitu, semua hakim agung dianggap telah memiliki prestasi luar biasa. Lalu, prestasi apakah yang telah dihasilkan MA, kecuali merosotnya kepercayaan publik pada lembaga itu?
Di sisi lain, independensi peradilan dari pengaruh politik sudah semakin jauh berkurang dibandingkan masa Orde Baru. Kini, semua peradilan tunduk di bawah satu atap MA. Hakim bukan lagi pegawai negeri, melainkan pejabat negara di semua level. Gaji dinaikkan amat-sangat signifikan dan kesejahteraan makin membahagiakan.
Rupanya, kekuasaan kehakiman saat ini hanya berhasil merebut independensinya, tetapi gagal melembagakan akuntabilitas dan integritas. Dalam konteks peristiwa tragis ini, maka usulan perpanjangan usia pensiun menjadi 70 tahun di dalam RUU revisi UU MA semakin menggenapkan epistemologi problem kekuasaan kehakiman yang lebih absurd dari kehidupan alam gaib.
***
Bagi para wakil rakyat, inilah momentum yang baik untuk mengembalikan kepercayaan publik. Caranya, dengan memangkas usia pensiun hakim agung, kalau perlu maksimal hanya 60 tahun. Tentu saja itu didasari segudang syarat agar tercapai kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagaimanapun, pembahasan RUU tentang Revisi UU MA harus dikembalikan pada karakteristik hukum yang sesungguhnya sebagai “produk proses pemaknaan akal budi dan hati nurani terhadap hasil persepsi manusia tentang situasi kemasyarakatan tertentu dalam kerangka pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan keyakinan etis dengan berbagai nilainya yang dianut” (B Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, 1999: 186). Situasi kemasyarakatan kini menghendaki usia pensiun tak diperpanjang hingga 70 tahun, mengingat dari sudut pandang apa pun telah menyalahi kodrat alam.
Pembentukan hukum, tentu saja tak sekadar unjuk kepiawaian memanfaatkan kekuasaan parlemen yang diakhiri dengan voting, melainkan juga didasari kearifan (wisdom) dan kecerdasan penalaran yang disokong aspirasi dan harapann publik. Lewat langkah itu, satu klaim diuji terus-menerus hingga mencapai kesepakatan trans-kelompok yang tidak mempan dikotori uang, manipulasi, dan tekanan.
Jika akhirnya hukum produk DPR dan Pemerintah tetap memaksakan kehendak, menyangkal nalar publik dan melawan situasi psikologis masyarakat, maka produk hukum itu hanya berkadar yuridis, tanpa legitimasi sosiologis. Sekadar akal-akalan yang tak masuk akal. Tentu saja selain tidak sehat bagi perkembangan hukum, pola seperti ini juga mengancam demokrasi. Untuk itu, jeritan publik sepantasnya diperhatikan para legislator kita. Dan MA legowo menimbang sunatullah dan kondrat alam, agar tidak kehilangan keagungannya. (Maman S Mahayana dan R Muhammad Mihradi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor)

persepsi

dalam membaca teks pasti timbul persepsi. Misal, ada seonggok berita gosip, paramitha rusady selingkuh...ini adalah teks, lalu dipersepsikan lain-lain. Bisa timbul persepsi, wah itu sensasi biar artis yang sudah lama karatan ini muncul lagi ke publik. Bisa juga timbul komment lain, kenapa paramitha selingkuh, suami sudah keren begitu dan sebagainya.
Dalam tradisi filsafat, keragaman persepsi tadi lumrah. Cuman, biar manfaat bagi publik maka mesti dicari (1) teks apa yang pantas masuk dan dikomentari publik dan (2) alur argumentasi ketika berpersepsi bagaimana.
Nah, kiranya keterampilan kita memilih dan memilah dan menajamkan argumentasi harus menjadi tradisi kuat di bangsa ini. Sebab, virus infotaintment seringkali meledakkan ruang akal sehat kita ketika memilih dan memilah tadi. Sehingga, tanpa terasa kita beku, terhegemoni oleh wacana media yang dibangun dan dikontrol atas nama ruang emosional tanpa reserve.
Ikhtiar untuk terus jernih seharusnya menjadi "tradisi peradaban" bangsa sakit ini.