Rabu, 16 Juli 2008

narsis---bicara tentang saya

saya merasa kaya, bukan harta tapi sahabat. Dimanapun, sahabat selalu tempat berbagi. Kawan saya, Merry, misalnya seringkali nampak merindukan keabadian persahabatan. Semua oksigen menyehatkan.
Saya orang biasa, lahir dari keluarga sederhana. Studi di kota kecil, Bogor. Tanpa ada sesuatu yang istimewa banget. Tapi, saya merasa memiliki sekian potensi dan minat. Filsafat, marketing, politik dan hukum, merupakan bidang yang menggairahkan saya.
Sehari-hari mengajar di almamater, fakultas hukum universitas pakuan. Sesekali menjadi konsultan, baik di kementerian pendayagunaan aparatur pemerintah, departemen kelautan dan perikanan dan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang disupport oleh uni eropa, UNDP maupun Yayasan Tifa.
Bagi saya, sebagai seseorang yang bergerak di bidang hukum, hukum merupakan gejala sosial yang amat luas. Minat mengkaji diluar hukum akan memperkaya perspektif kita. Dan, sebagai pengajar, kita tidak bisa hanya asyik mengajar dunia cita di kelas tanpa melihat realisme. Karena, saya juga pernah menjadi konsultan di DPRD dan instansi pemerintahan, maka saya bisa melihat dengan terang jarak antara teori dan praktik. Semua tidak berarti saling menafikan, malah harusnya justru menyempurnakan.
Beberapa buku saya diterbitkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat. Saya bahagia, bisa hidup dan berkarier di dunia akademis dan praktik, karena semua sanggup membuka perspektif. Untuk dunia sastra, minat saya yang lain, saya amat berhutang budi pada Maman S Mahayana, Goenawan Mohamad dan Ayu Utami yang memberi horizon menikmati eksotiknya dunia tadi.
Impian saya, saya menjadi makhluk tanpa definisi yang ada dimanapun dan bekerja dengan cara apapun yang positif untuk mengabdi pada publik yang tertindas.

Senin, 14 Juli 2008

berperspektif positif

beberapa teguk soft drink coca cola dingin kuteguk. Perlahan, kutengok cahaya sore yang mulai memudar sembari berpikir: mengapa hidup harus bertemu orang yang menyebalkan. Prestasinya minim, hanya pandai "menjilat", lalu ia dapat membungkus apapun yang dimaui. Sayangnya, kita harus terbiasa hidup dengan kutu busuk model itu.
Lamat-lamat, setelah merenung dalam, kupastikan, dikehidupan dunia manapun, kutu busuk dan kupret model itu selalu ada. Ia hinggap di kemeja rapih parlente dan tertidur nyenyak di "pantat" orang yang memiliki "power". Ia terampil memuji, juga gesit mendepak orang.
Nah, lalu seperti biasa, kita harus mendarat dalam perspektif positif. Mungkin, hadirnya kutu kupret busuk tadi merupakan sejawat kompetitor agar akhlak kita bisa dibina lebih mulia dan sabar. Untuk itu, di Indonesia, semangat "diam-diam" berprestasi dan selalu berpikir ke depan, memang harus digalakkan. Semoga---Tuhan yang Maha Bijak---bisa mengurangi populasi kutu busuk, kupret, penjilat dan tidak punya harga diri tadi.
salam
dalam kemarahan sejenak
2008

Kamis, 10 Juli 2008

Memandulkan DPD

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)yang terakhir tentang DPD telah menggenapkan ke-impotensian DPD. Menurut MK, DPD pengisian anggotanya selain perorangan, dibolehkan juga dari partai politik. Akibatnya, menurut penulis, sistem bikameral kita hancur. Pertama, dari awal konstitusi UUD 1945 telah memandulkan DPD dengan kewenangan legislatif minim, sekedar pemberi pertimbangan. Kedua, dengan anggota dari parpol masuk maka DPD hanya menjadi DPR plus saja. Dikotak-katik menjadi unikameral lagi dengan sistem tidak jelas.
Indonesia--demokrasi--legislasi, ke depan makin murung.