Jumat, 23 Mei 2008

DOSEN

Bagi saya, dosen pekerjaan unik. Kerjanya tidak jelas. Artinya, waktu adalah sesuatu yang absurd. Kadang ada di kampus pagi. Kadang sore. Atau Malam. Jam kerja tidak jelas juga. Di rumah ketika semua pekerja biasa larut dalam mimpi, sang dosen masih asik meriksa berkas ujian, menulis artikel untuk koran, membaca buku buat persiapan ngajar atau buat proposal mencari proyek sampingan.
Dosen, bukan guru biasa. Ia motivator dan fasilitator. Mahasiswa aktif mencari ilmu. Bahkan, bukan tidak mungkin, mahasiswanya lebih pandai dari dosen bila ia aktif mengakses segala hal.
Bagi saya, seorang dosen dengan tri dharma perguran tingginya tidak boleh puas hanya karena bisa ngajar di depan kelas tapi miskin menjadi pembicara, miskin menganalisis masalah, miskin akses data dan miskin menulis juga membaca. Yang paling berbahaya, dosen terjebak oleh perasaan narsis merasa paling pintar dan lupa menggali ilmu. Dan lebih berbahaya lagi jika hanya puas dengan gelarnya, entah master atau doktor, tanpa terus menggali ilmu.
Bahaya-bahaya itu yang harus dihindari. Disadari atau tidak.
(NB: dan kesejahteraan yang terlalu kecil adalah bahaya lain yang mengancam seperti syetan)

KRHN

Bagi saya, KRHN adalah sekolah kedua. KRHN singkatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional didirikan oleh AJI, YLBHI, ICEL dan IKADIN DKI Jakarta kalau tidak salah. Ketua pertamanya kalau tidak salah adalah Irianto Subiakto.
Saya, seorang sarjana hukum baru lulus di tahun 1998-an mencoba bersekolah aktivis di KRHN. Awal kenalnya dengan seorang staf KRHN Mas Firmansyah Arifin (yang kini menjadi Ketua KRHN). Dilibatkanlah diri ini yang biasa-biasa saja sebagai orang yang turut serta mengkaji berbagai hal tentang konstitusi dan demokrasi.
KRHN adalah LSM tapi ia mampu mereproduksi seperti sekolah, insan-insan kritis yang mau mereformasi hukum. Muda-muda anggotanya namun giat mengkritisi perubahan.
Hingga kini KRHN tetap menjadi pendorong. Dengan dinamikanya. Lokomotif demokrasi dan hukum. Dan saya bersyukur menjadi bagian dari itu semua dengan keterbukaan dan sharing tanpa henti dari semua stake holders KRHN.
(Spesial untuk Mas Firman, terima kasih saya ucapkan tanpa bisa berbuat lebih)

Komunitas Budaya Radar (KBR)

Di awal reformasi, harian Radar Bogor terbit. Saya, termasuk penulis pertama yang menulis di harian tersebut. Kalau tidak salah, judul tulisan saat itu adalah mengenai reformasi politik. Saya banyak kemudahan menulis pada harian itu, karena senior saya dari fakultas hukum universitas pakuan menjadi wartawannya. Salah satunya akan saya abadikan disini yakni Herly Hermawan Moenara (dimana dikau kini?). Saking maniak menulis, hampir setiap bulan, tulisan saya beredar di harian radar bogor.
Nah. suatu ketika, saudara Riefky Setiady (alumni IKIP Bandung Seni Rupa dan Wartawan pertama juga radar bogor) menawari saya untuk turut serta mengembangkan komunitas budaya radar (KBR). Saya tertarik, karena dua hal. Pertama, saya senang kajian-kajian budaya mengingat latar saya dari rumpun kajian kebudayaan, khususnya ilmu hukum. Kedua, konsep KBR mencoba merangkul seluruh siswa SMA se Bogor untuk disalurkan bakatnya, baik jadi model, mengkaji kebudayaan maupun berkegiatan seni. Salah satu yang berhasil melejit, yang saya ingat, antara lain: Okie (istri Pasha Ungu), Ufara (artis sinetron), Margie (model) dan lainnya.
Ada banyak kenangan di KBR. Selain kami aktif membuat kegiatan, baik kajian kebudayaan, fashion show, pagelaran musik, kami juga membangun rasa solidaritas yang kuat. Ketika sama-sama tidak memiliki uang, kami patungan untuk makan-makan bersama. Saya, biasanya, menyumbang dari honor-honor tulisan (saat itu saya dosen baru, gaji masih kecil, jadi honor menulis hal luar biasa), temanku yang lain, yang wartawan, dari honor pekerjaannya dan sebagainya. Kami menjadi keluarga yang kuat.
Seperti biasa, pernak-pernik selalu ada. Biasanya konflik kecil selalu hadir karena salah satunya rebutan perempuan yang ditaksir. Tapi, itu kemudian diselesaikan dengan baik, karena kita semua bersaudara.
Bagi saya, mendadak masuk KBR seperti orang top. Karena membina SMA seBogor, jadi banyak kenalan anak SMA di Bogor. Hal ini menyenangkan karena bisa berbagi. Mungkin sebuah kemewahan tersendiri. Entahlah...
(disajikan untuk kawan-kawan KBR antara lain yang diingat: Awal, Idfi cs (anak-anak Mamih yang dulu di Pacilong),temen-temen SRC (Selebritis Radar Club), Margie Cs, Korry cs dan lainnya)

Patroli Keamanan Sekolah Polresta Bogor di tahun 1988-an

Di tahun 1988an, kalau tidak salah, saya duduk di bangku SD, saya ikut Patroli Keamanan Sekolah (PKS) sebuah kegiatan ekstra kurikuler yang dibina oleh Polresta Bogor. Hingga akhir SMP, saya menjadi anggota PKS dimaksud.
Bagi saya, PKS menarik. Pertama, memberikan materi dan pengayaan bagaimana tertib berlalu lintas. Kedua, menjadi agen bagi siswa-siswa untuk tertib berlalu lintas. Ketiga, membangun jaringan persahabatan dengan semua pelajar se Bogor.
Tentu, suka duka selalu ada. Dukanya kalau upacara terlalu lama pada hari peringatan nasional. Badan pegal-pegal, tapi tetap semangat. Sukanya, kalau turun ke jalan, ikut mengatur lalu lintas. Ada kebanggaan, dengan seragam lengkap, memberhentikan kendaraan dan menyebrangkan pelintas jalan.
Tentu, diberbagai sisi-sisi ada romantismenya juga. Naksir-naksiran khas cinta monyet anak sekolahan. Dan, semangat berkegiatan karena ada yang ditaksir. Suatu bumbu yang pasti ada diberbagai kegiatan.
Ohya, saya akhirnya berhenti dengan pangkat akhir Taruna Muda Madya Penuh.
(Tersaji sebagai kenangan buat kawan-kawan PKS di tahun 1988-an, saya saat itu, SD Pengadilan II Bogor dan SMPN II Bogor)

Lingkar Study Budaya (LsB)

Kali ini cerita agak mengenang silam. Mungkin suatu kekenesan, tapi kita tidak pernah bisa lepas dari masa silam. Suatu kali, di tahun 2000, kami dosen-dosen muda di fakultas hukum universitas pakuan mendirikan organisasi lintas batas (usia, ideologi, agama maupun ras) namanya Lingkar Studi Budaya (LsB). Sengaja kami memakai kata "budaya" sebab untuk dapat menjangkau publik dari berbagai kalangan yang ingin merajut budaya sebagai identitas dan kebutuhan.
LsB dimulai dengan gebrakan mengadakan acara Talk Show "Hukum dan Politik Kata Orang Biasa", kami undang di tahun 2000 itu, narasumber Kang Harry Roesli (Almarhum), Hamid Djabar (almarhum), Datuk Sulaeman (Aktivis dan Budayawan Bogor) serta Bintatar Sinaga (Saat itu dekan FH Unpak). Kami membuat kegiatan dengan model gaya tradisional dengan makanan panganan dan minuman bandrek serta umbi-umbian. Acara sukses, diadakan di malam hari, dan gratisan (memang biasanya kalo gratisan laku hehehe).
Nah, kemudian beragam kegiatan diadakan. Diskusi, Musik hingga kajian-kajian budaya maupun filsafat. Yang menarik, mayoritas anggota adalah mahasiswa dan pembinanya ada dari kalangan dosen seperti kami, wartawan hingga aktivis LSM. Semua bercampur dan berdinamika membuat beragam kegiatan dengan kesadaran penuh berkebudayaan.
Kami profesional. Mahasiswa anggota LsB nilainya bagus-bagus dengan daya juang sendiri. Meski dosen ada di dalam lembaga ini tapi kami memiliki etika untuk tidak mencampuradukan status dan kegiatan LsB.
Sayang, lembaga laboratorium model ini tidak terlalu lama berkiprah. Kaderisasi tidak sukses berjalan lancar. Ada perpecahan kecil-kecil akibat fenomena bercinta antar sesama anggota yang sering mengganggu kinerja. Namun, sebagai sebuah kenangan, LsB berhasil melahirkan sebuah laboratorium kecil bagaimana sebuah organisasi pluralistik dapat bertahan memperjuangkan inovasi dengan profesional.

Jumat, 16 Mei 2008

demokratisasi demokrasi

demokrasi adalah cara dan sekaligus tujuan di mana daulat publik pemilik republik ini bisa menentukan kehendak dan cara kehendak diwujudkan. Demokrasi bukan sesuatu yang tabu dikoreksi. Sebab, justru demokrasi akan ampuh dengan kritik dan koreksi.
Bagi saya, demokrasi perlu didemokratisasi--khususnya berkaca pengalaman Indonesia. Mengapa? Pertama, kita terjebak demokrasi prosedural. Artinya, ketika ada pemilu bebas, pers bebas dan parlemen kritis lalu demokrasi selesai. Nyatanya, semua dibajak oleh elite yang justru mendulang ikan di air keruh. Bagi saya, demokrasi harus disempurnakan dengan demokrasi substansial yakni menjadikan rakyat sebagai pemilik sejati. Rakyat diajak dialog dan partisipasi untuk membumikan demokrasi. Kedua, demokrasi kita tidak mengimplikasikan kesejahteraan karena keliru paradigma. Demokrasi yang kita bangun hanya mengejar bagaimana tersedia akses untuk semua terhadap pilar demokrasi tapi lupa untuk mengkantrol warga miskin misalnya, yang tidak memiliki akses setara terhadap pilar demokrasi. Dengan begitu, demokrasi harusnya mampu memperbaiki defisit kemampuan warga untuk memperjuangkan nasib kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, pemberdayaan menjadi hal yang niscaya.
Demokrasi memang proses tapi harus di track yang benar. Selama kita masih menuhankan demokrasi prosedural, maka demokrasi bisa jadi memakan anak kandungnya sendiri. Naudzubillah min zalik.

Selasa, 06 Mei 2008

AKSES INFORMASI PUBLIK KENAIKAN BBM?

ADANYA kenaikan harga minyak dunia seakan memaksa pemerintah untuk memilih opsi harga BBM dalam negeri dinaikkan. Alasannya, bila harga BBM tidak naik, beban APBN parahnya mencapai klimaks. Untuk saat ini saja, beban APBN untuk subsidi BBM mencapai Rp. 200 triliun atau seperlima dari produk domestik bruto (PDB).

Masalahnya, tradisi kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga barang dan jasa sekaligus mendorong inflasi. Padahal, di sisi lain, kini kita tengah dilanda pula krisis pangan. Nampaknya pemerintah dihadapkan pilihan buah simalakama. Dinaikkan harga BBM, masyarakat terpukul perekonomiannya. Disisi lain, bila harga BBM tidak naik, laju pembiayaan pembangunan melalui APBN terguncang. Sekilas, tidak ada pilihan yang melegakan.

Akses Informasi

Penulis tidak berpretensi untuk terlibat polemik opsi menaikkan harga BBM atau tidak. Alasannya, penulis tidak memiliki keahlian dan kompetensi untuk itu. Namun begitu, penulis hendak menyoroti hal yang umumnya luput dari suatu polemik publik, yakni akses informasi publik. Sejauhmana publik dibanjiri oleh informasi yang jelas, bernas dan sehat dari otoritas resmi berkenaan dengan berbagai opsi menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Apakah hanya opsi menaikkan harga BBM merupakan satu-satunya pilihan yang rasional. Atau, ada informasi lain yang disembunyikan sehingga luput untuk ditimbang ketika menentukan suatu kebijakan publik.

Akses informasi publik yang terbuka dan mudah adalah hak asasi yang dijamin oleh berbagai ketentuan kovenan internasional hingga UUD 1945. Hal ini yang mendorong akhir April 2008 lalu, DPR dan Pemerintah menyetujui RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) disahkan menjadi UU. Salah satu tujuan filosofis terbitnya undang-undang KIP adalah “menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik” (Pasal 3).

Masalahnya, pembentukan legislasi dan regulasi saja tidak cukup untuk mendorong keterbukaan akses informasi publik. Perlu penyiapan infra dan supra struktur serta kultur politik yang terbiasa membuka informasi publik sebagai suatu keniscayaan. Dalam kasus pilihan opsi kenaikan harga BBM misalnya, pemerintah seharusnya menyampaikan informasi yang cukup pada publik mengenai berbagai kemungkinan dan alternatif selain menaikkan harga BBM. Selain itu, pemerintah juga harus akuntabel, membuka semua data berkenaan dengan dampak kenaikan harga BBM di masa lalu dan berbagai kebijakan kompensasinya, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), apakah mencapai sasaran atau tidak. Dengan begitu, publik dapat diajak berempati dan turut serta mencarikan solusi bagi penyelesaian krisis BBM ini. Sayangnya, yang terjadi praktik sebaliknya. Publik tidak pernah tahu persis, apakah BLT yang lalu sukses dan dapat mengkompensasi kenaikan harga BBM serta pengorbanan masyarakat untuk itu. Yang terjadi malah meluncurkan paket BLT Plus. Seakan-akan masyarakat dijadikan laboratorium trial and error dari suatu kebijakan publik tanpa mengevaluasi program serupa di masa lalu.

Daulat Publik

Secara teoritis, jaminan akses informasi publik merupakan hak konstitusional yang harus dihormati. Dengan demikian, melalui akses informasi publik, masyarakat dapat turut serta mengontrol kegiatan penyelenggara negara dan mengoreksi kebijakan publik yang merugikan mereka. Tanpa kecukupan informasi, masyarakat tak pernah dapat maksimal berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik.

Akses informasi publik harus terjamin oleh pemerintah tanpa memandang kaya atau miskin. Untuk itu, pemerintah tidak dapat membaca kemiskinan sebagai rendahnya pendapatan semata melainkan pula defisit kemampuan (Amartya Sen, 1999:87-88) sehingga si miskin harus dikatrol kemampuannya, termasuk dalam hal akses informasi publik.

Pada kasus opsi kenaikan harga BBM, bila akses informasi publik berjalan sebagaimana mestinya, maka ada beberapa hal yang harus tersedia di ruang publik. Pertama, data akurat mengenai jumlah penduduk miskin yang dapat diverivikasi, tidak saja oleh instansi pemerintah tapi juga badan internasional (World Bank misalnya). Kedua, berapa jumlah inefisiensi yang terjadi di tubuh instansi pemerintahan selama ini. Dipaparkan pula angka-angka kerugian negara akibat dikorupsi dan asumsi kemungkinan harta koruptor kembali setelah melalui proses hukum. Ketiga, adanya data yang komperhensip kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM di masa lalu dan seberapa jauh dampaknya terhadap pengurangan angka kemiskinan.

Dengan ketiga data informasi publik minimal di atas, maka rasionalisasi kenaikan harga BBM dapat diuji. Termasuk pula menyusun berbagai model dan skenario bila harga BBM tidak dinaikkan. Implikasinya, masyarakat akan turut berkontribusi memikirkan strategi yang tepat untuk mengatasi krisis BBM.

Pada akhirnya, menurut penulis, tugas pemerintah tidak berhenti pada memutus kebijakan-kebijakan strategis menyangkut kenaikan harga BBM. Melainkan, lebih dari itu, pemerintah menstimulasi masyarakat untuk secara bersama-sama menangani krisis BBM. Itu hanya mungkin bila tersedia akses informasi publik yang cukup sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja apa yang telah dilakukan pemerintah. Tanpa itu, kebijakan pemerintah hanya akan dibaca sebagai sebuah bentuk prilaku yang cenderung menumbalkan rakyat di lapis paling bawah. Sebuah realitas yang amat berlawanan dengan semangat konstitusi, mensejahterakan kehidupan bangsa.

*R Muhammad Mihradi dikirim untuk Kompas
Printed 7 Mei 2008

Jumat, 02 Mei 2008

berdiskursus

diskursus sebuah model pembentukan wacana yang terus menerus, menggali dan mengendapkan apapun yang ingin ditemukan sembari tidak lekas puas dengan jawaban. dalam diskursus, yang dihargai adalah proses dan perumusan argumentasi. sayang, kita bukan bangsa yang doyan berdiskursus sehat. sebab, dalam berdiskursus, hanya argumen yang paling rasional dan tahan uji, yang berhak untuk senantiasa dipertahankan. sisanya, harus dikesampingkan. nah, problem bagi bangsa yang emosional dan tidak tahan untuk berdialog. dengan begitu, diskursus juga sekaligus menghargai pluralisme dalam melakukan apa yang disebut searching of truth.