17-23 Mei 2014 babak baru. Untuk pertama kali, tiba di Sydney Australia. Camar putih melayang membelah angkasa. Terlihat di pagi dingin melalui jendela Hotel Ibis Sydney. Agak letih seharian (19/5) kemarin berdiskusi dengan Konjen Sydney, berdialog dengan Prof Natalie Stoianoff dari Pusat HAKI Universitas Teknologi Sydney dan LSM HAKI, mengenai perlindungan kebudayaan kreatif kaum Aborigin.
Apa yang menarik dari Sydney? Yang pasti, Jakarta lebih mewah dalam urusan gedung pencakar langit dan sebagainya. Namun, Sydney lebih pandai memelihara bangunan tua cagar budayanya. Jalan tertata dengan traffic light yang ditaati semua. Taman terbuka hijau demikian luas dan dapat leluasa diakses publik, mengingatkan padang golf di Jakarta yang elitis.
Apapun kelebihan Sydney tidak menghapus kecintaan full sejuta persen untuk Indonesia. Meski, tidak ada salahnya, belajar banyak ke negeri orang untuk menjadi "lebih baik"atau mungkin "terbaik".
MIHRADICENDIKIA
semua hal yang simpel namun tidak pernah menyepelekan substansi itulah aku
Senin, 19 Mei 2014
Selasa, 20 Agustus 2013
Kolom Makalah Perizinan
SENGKARUT PERIZINAN KOTA BOGOR[1]
Oleh R Muhammad Mihradi[2]
MEMPRIHATINKAN, satu kata untuk melukiskan perizinan di Kota
Bogor. Pertama, publik di Bogor mendapat kesan kuat, perizinan
seringkali tidak memiliki kompatibel kuat dengan penataan ruang yang mampu
mewadahi ruang publik dan karakter budaya. Kasus kontroversi Hotel Amarosa
merupakan contohnya. Kedua, keluhan memproses perizinan
berbelit-belit seringkali terungkap di media lokal. Dampaknya, kultur jalan
pintas kerap terjadi. Di didirikan dulu bangunannya, izin menyusul.[3] Ketiga,
adanya kecenderungan (tren) menggunakan instrumen izin sebagai alat
pemasukan ekonomi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, hakikat izin
adalah pengendalian aktivitas masyarakat agar terkelola ketertiban dan
kenyamanan.[4]
***
Secara konseptual,
perizinan merupakan wewenang publik dari pemerintah (bestuurs) untuk mengatur (sturen)
dan menata pemerintahan dalam kerangka melayani publik secara optimal.
Perizinan sebagai tindakan pemerintahan (bestuurs
handeling) harus pula dilandaskan pada prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat), prinsip-prinsip demokrasi
dan sesuai konsep dasar yang dikenal dalam hukum administrasi, maka
mengakomodasi pula prinsip instrumental. Prinsip negara hukum misalnya,
menghendaki adanya skema kekuasaan pemerintah yang bersifat aktif di mana
dimensi kontinyuitas menjadi karakternya. Seperti kekuasaan pemerintahan dalam
menerbitkan izin mendirikan bangunan tidak berhenti dengan terbitnya izin
mendirikan bangunan. Melainkan senantiasa mengawasi agar izin tadi digunakan
dan ditaati. Bila tidak sesuai maka pemerintah akan menggunakan kekuasaan
penegak hukum berupa penertiban. Prinsip umum negara hukum itu sendiri
menginginkan adanya implementasi dari empat ciri khasnya yakni (a) adanya asas
legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan; (b) perlindungan hak-hak dasar
(grondrechten); (c) pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan dan (d)
pengawasan oleh pengadilan.[5]
Prinsip atau asas
demokrasi berkenaan dengan prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
termasuk perizinan, baik berupa pengambilan keputusan maupun berupa
perbuatan-perbuatan nyata. Salah satu
kriterianya adanya keterbukaan dan peran serta (inspraak) publik dalam pengambilan keputusan. Pengalaman Belanda
melalui Algemene Wet Bestuursrecht (UU Hukum Administrasi Umum) pada Pasal 3:11
(3.4.2) mewajibkan “organ pemerintahan untuk memberikan kesempatan melihat
(inzage) dalam jangka waktu sekurang-kurangnya empat minggu dan memberikan
kesempatan mengemukakan pendapat bagi pihak-pihak yang akan terkena suatu
keputusan pemerintah”. Jadi, ketentuan ini memberikan dasar bagi masyarakat
berpartisipasi baik aktif maupun pasif sekaligus mendorong pemerintah membuka
ruang bagi publik mengkritisi kebijakannya.[6]
Sedangkan prinsip atau asas instrumental menekankan pencapaian tujuan
pemerintahan harus memastikan agar asas efisiensi dan efektivitas diadopsi
secara memadai.[7]
***
Paparan konsep perizinan
di atas adalah idealisasi dan teoritis yang sepatutnya menjadi arah dan
pencerah pada proses penyelenggaraan pemerintahan. Namun, praktiknya tidak
demikian. Ada aroma politisasi dalam perizinan. Kompas, 18 April 2012
menurunkan berita bahwa kasus Hutan Sumatera ternyata menjadi ajang obral
perizinan. Penulis menduga, kasus demikian tentu tidak hanya terjadi di
Sumatera. Korelasi perizinan dan politisasi ini berangkat dari pilkada yang
mahal. Akibatnya, para kandidat kepala daerah diduga melakukan setidaknya dua
hal: (1)mencari sumber dana tidak halal atau (2) mengundang investor dengan
iming-iming obral perizinan tadi. Akibatnya, begitu kepala daerah tadi
terpilih. Maka, timbul perizinan yang semrawut akibat investasi investor dalam
pilkada tadi. Bahkan, tidak hanya itu, pengalaman Sierra Leone Afrika
menunjukkan, antara pengusaha dan penguasa bersenyawa membangun shadow state network untuk mengendalikan negara. Inilah yang sering disebut
praktik “shadow governance”.[8]
Tidak ada jalan lain,
memperbaiki sengkarut perizinan harus dilakukan secara komperhensif. Seperti,
bagaimana membangun sistem pilkada berbiaya murah namun kaya konsep. Perlu
dilakukan audit demokrasi menyangkut biaya politik pilkada.[9] Dengan
begitu tidak ada lagi kepala daerah yang harus melakukan praktik “ijon” perizinan yang merusak daerahnya.
Selain itu, reformasi birokrasi berkelanjutan menjadi “harga mati”. Bila
birokrasi hanya diperbaiki renumerasi
tanpa revolusi mentalitas. Sulit rasanya keluar dari kubangan perizinan sebagai
siluman cost. Hal ini bukan agenda
mudah sebab berada di ranah psikologi dan tegaknya sistem hukum dalam koridor reward
and punishment. Tentu di dalam konteks ini pula, kelembagaan perizinan satu
atap wajib diberdayakan sehingga tidak menjadi asesoris dalam sistem perizinan.
Pada akhirnya, berbagai
tebaran pemikiran di atas bisa jadi tidak terlalu solutif. Namun, pemakalah
percaya, bila kita mampu melakukan identifikasi yang tepat terhadap peta
persoalan dan memiliki arah konseptual, maka perbaikan dapat dilakukan. Makalah
ini sekedar kontribusi kecil untuk memotret peta tadi.
[1]Sumbang Pikir Diskusi Di P4W IPB Dalam
Rangka Masukan Bagi Cawalkot Bogor Pasangan Bimar Arya-Usmar, Bogor, 15 Agustus 2013.
[2]Wakil Dekan Bidang Akademik FH
Universitas Pakuan, Pengajar Hukum Administrasi FH Universitas Pakuan, Staf
Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Senayan Jakarta dan Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kota Bogor
[3]Kasus peletakan batu pertama Universitas
Bakrie di Bogor Nirwana Residence, Pen dirian Pasar Modern Cilendek Barat dan
Mc Donald Jl. Ir H Juanda di Bogor contoh aktual mendirikan bangunan sembari
izin mendirikan bangunan di urus, padahal Perda Bangunan jelas menegaskan
dilarang membangun tanpa izin. Lihat pemberitaan Radar Bogor 21 April 2011, 30
Agustus 2010, dalam situs http://www.radarbogor.com.
[4]Philipus M Hadjon menulis, instrumen
perizinan digunakan untuk (a) mengarahkan atau mengendalikan (sturen) aktivitas
tertentu; (b) mencegah bahaya yang ditimbulkan oleh aktivitas tertentu; (c)
melindungi obyek-obyek tertenutu; (d) mengatur distribusi benda langka dan (e)
seleksi orang dan/atau aktivitas tertentu, lihat Philipus M Hadjon, “Fungsi
Izin Pembatasan Hak-Hak Dasar dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik”, Ceramah
Ilmiah, Lampung 2 Mei 1995, hlm.5
[5]Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara
Peradilan Administrasi, Surabaya: Airlangga University Press, 1997, hlm.39-41
[6]R Muhammad Mihradi, “Peradilan Tata Usaha
Negara Dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Makalah Disampaikan pada Pendidikan
dan Pelatihan Hukum Pemerintahan dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
bagi Karyawan Pemkot Bogor, diselenggarakan Pemkot Bogor bekerja sama Forum
Kajian Hukum FH Universitas Pakuan, di Balai Kota Bogor 5-8 Agustus 2003,
hlm.4.
[7]Suparto Wijoyo, Op.Cit, hlm.42.
[8]Data-data melimpah mengenai shadow governance dapat dilihat dalam
Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance
Practices” dalam Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesia:
Direct Elections for Local Leaders, Singapore: ISEAS, 2009, page
132-133. Menurut Syarif Hidayat, shadow governance berkarakter aliansi
birokrais, pimpinan partai, pengusaha, militer dan kriminal untuk mengendalikan
pemerintahan di berbagai level. Kasus India merupakan model ekstrem shadow
governance. Bahkan bila merujuk I WIbowo, malah, Multi National Corporation
seringkali turut bermain dalam berbagai kebijakan mempengaruhi negara dengan
beragam cara termasuk suap. (model ini mengingatkan dugaan korupsi SKK Migas),
lihat I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi,
Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.105-106.
[9]Lihat R Muhammad Mihradi, “Partai Politik
Collapse”, Artikel, Harian Pelita, Selasa 26 Februari 2013.
Demokrasi Disantra Korupsi
Oleh R Muhammad Mihradi
Dimuat 16 Agustus 2013 di Pelita Online
OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kembali mengejutkan. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini terkena
dugaan suap (gratifikasi) dan ditahan oleh KPK. Dalam OTT tersebut, KPK menyita
ratusan ribu uang dollar dan moge merek BMW.
Menyeramkan fakta di
atas. Kasus gratifikasi Kepala SKK Migas menambah deretan luka korupsi, tidak
hanya menyentuh eksponen parpol besar, anggota parlemen dan aparatur penegak
hukum. Namun, sektor birokrasi migas-pun terkena pula. Tragisnya, sektor migas
merupakan andalan pendapatan negara kedua setelah pajak.
Kasus-kasus korupsi
semakin menampilkan wajah busuk pengelola dan pengelolaan republik ini. Korupsi
mengganas di semua sektor. Dan ironisnya, hal ini terjadi di tengah upaya
bangsa melembagakan demokrasi. Suatu sistem pemerintahan yang justru dibangun
untuk melawan korupsi. Menjadi paradoks sekaligus anomali bila korupsi subur di
negara demokrasi. Demokrasi disandera korupsi.
Asumsi
Demokrasi sering
dikatakan pilihan terbaik diantara terburuk yang sudah teruji diberbagai
negara. Sebab, demokrasi tidak sekedar dimaknai rakyat berdaulat. Melainkan
suatu sistem yang didalamnya telah mengakomodasi partisipasi, akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan negara sebagai satu denyut nafas karakter
demokrasi. Semua dibalut cermat dalam koridor negara hukum. Dengan begitu,
logikanya, korupsi seharusnya tidak “betah” di sistem demokrasi. Karena,
transparansi adalah musuh terbesar korupsi.
Sayangnya, logika
demokrasi di atas tidak terjadi dalam kasus Indonesia. Demokrasi ala kita
rupanya mengarah pada praktik pelembagaan kebebasan yang nihilistik, kebebasan
yang akan berujung pada malapetaka. Sebab, bangsa ini sebagai subyek dalam
demokrasi baru menikmati kebebasan tanpa menyadari bahwa kebebasan menuntut
pertanggungjawaban. Kebebasan berada di ranah---istilah filsuf
Zizek—“masyarakat risiko” yang bila kebebasan tidak diikuti kesadaran konsekuensinya,
maka akan membahayakan masyarakat itu sendiri (Robertus Robert, Manusia Politik,2010:35). Sinyal ini
nampak jelas dari tumbuh mekarnya radikalisme, kekerasan bahkan anti toleransi pada
sebagian masyarakat dengan memanfaatkan dan atas nama kebebasan berekspresi.
Padahal kebebasan demikian justru menghancurkan sendi kebebasan hakiki. Dengan
kata lain, kebebasan yang tidak teredukasi akan mematikan kebebasan itu
sendiri.
Boleh jadi, kita
terjebak demokrasi prosedural. Sebatas berpendapat bebas, pemilu dan pers
bebas. Belum menukik substansi. Misalnya, bagaimana transparansi digunakan sebagai
indikator memastikan pemilu bersih. Kasus penolakan partai demokrat (sebagai
bagian dari pilar demokrasi) terhadap permintaan Indonesian Corruption Watch
(ICW) dalam membuka laporan keuangan partainya setelah putusan adjudikasi
Komisi Informasi menunjukkan anomali demokrasi ala prosedural (Donal Fariz, Sengketa Keuangan Parpol, Kompas
14/8/2013:6).
Masa Depan
Kondisi demokrasi
disandera korupsi harus diubah. Tidak ada jalan lain, demokrasi mesti
dibebaskan dari korupsi. Caranya dengan memastikan seluruh instrumen demokrasi,
baik prosedural maupun substansial serta negara hukum melembaga secara otentik.
Pemilu---misalnya---sebagai arena demokrasi yang mendasar harus dipastikan
terkelola sesuai konsep demokrasi. Profil peserta pemilu, baik keuangan, rekam
jejak dan kredibilitasnya, harus dapat diakses publik. Demikian pula birokrasi
harus dipaksa untuk transparan sekaligus mengubah mental menuju service public excellent. Zona zero
toleransi terhadap korupsi menjadi kunci reformasi birokrasi. Ini diawali dari
rekrutmen birokrasi yang profesional, transparan dan akuntabel. Jauh dari
politik partisan.
Selain hal di atas,
peran publik kritis teredukasi wajib dioptimalkan. Pelibatan publik menjerakan
koruptor secara sosial merupakan keniscayaan. Seorang koruptor atau mantan
koruptor jangan diberi kesempatan lagi oleh publik untuk dipilih dalam pemilu.
Dengan begitu, kanker korupsi dapat diamputasi melalui efek jera secara sosial.
Kekuatan kolektivitas dan kebersamaan publik dapat mengembalikan demokrasi
sebagai alat perjuangan melawan korupsi. Bukan sebaliknya.
Penulis adalah Staf
Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI dan Dosen Fakultas Hukum Universitas
Pakuan, Bogor
Rabu, 06 Maret 2013
HARIAN
PELITA
Partai Politik “Collapse”
Selasa, 26 Februari 2013
Oleh R Muhammad Mihradi
Penetapan Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, sebagai tersangka
oleh KPK merupakan antiklimaks citra negatif partai politik dimata
publik.Sebelumnya, publik sudah dikejutkan dengan Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden
Partai Keadilan Sejahtera,partai yang digadang-gadang bersih. Luthfi
dinyatakan tersangka oleh lembaga yang sama pada kasus impor sapi. Fakta buruk ini hanya menambah daftar pesakitan kader partai yang terjebak korupsi.
dinyatakan tersangka oleh lembaga yang sama pada kasus impor sapi. Fakta buruk ini hanya menambah daftar pesakitan kader partai yang terjebak korupsi.
SEBUTLAH
antara lain Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Alfian
Mallarangeng (Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati
(Partai Amanat Nasional), Zulkarnaen Djabar (Partai
Golkar), dan Emir Moeis (PDI
Perjuangan). Ironisnya, partai politik merupakan pilar demokrasi. Bima Arya Sugiarto (Anti Partai, 2010) menulis betapa pentingnya partai politik sebagai bentuk pelembagaan politik dalam demokrasi. Sebab, perluasan partisipasi politik tanpa pelembagaan hanya berbuah pembusukan politik (political decay). Tragisnya, pelembagaan politik inilah titik terlemah demokrasi kita yang semakin menampakkan wajah bopeng.Bisa jadi, kita tengah mengalami ritual demokrasi bandit. Demokrasi yang diisi para bandit, menjarah sana-sini dengan sangat sadis. Memanfaatkan kuasa publik yang jatuh padanya melalui pemilu. Dalam perspektif I Wibowo (Negara dan Bandit Demokrasi, 2011), demokrasi bandit menggila di tubuh ketidaksempurnaan sistem demokrasi. Demokrasi berinduk pada sistem tidak stabil karena meniscayakan rotasi rutin kekuasaan yang pendek usia. Dampaknya, siapapun yang terpilih di kekuasaan, ia akan mengoptimalkan penjarahan.
Perjuangan). Ironisnya, partai politik merupakan pilar demokrasi. Bima Arya Sugiarto (Anti Partai, 2010) menulis betapa pentingnya partai politik sebagai bentuk pelembagaan politik dalam demokrasi. Sebab, perluasan partisipasi politik tanpa pelembagaan hanya berbuah pembusukan politik (political decay). Tragisnya, pelembagaan politik inilah titik terlemah demokrasi kita yang semakin menampakkan wajah bopeng.Bisa jadi, kita tengah mengalami ritual demokrasi bandit. Demokrasi yang diisi para bandit, menjarah sana-sini dengan sangat sadis. Memanfaatkan kuasa publik yang jatuh padanya melalui pemilu. Dalam perspektif I Wibowo (Negara dan Bandit Demokrasi, 2011), demokrasi bandit menggila di tubuh ketidaksempurnaan sistem demokrasi. Demokrasi berinduk pada sistem tidak stabil karena meniscayakan rotasi rutin kekuasaan yang pendek usia. Dampaknya, siapapun yang terpilih di kekuasaan, ia akan mengoptimalkan penjarahan.
Konstitusionalitas Partai
Tidak ada yang membantah betapa
strategis peran penting partai politik. Secara konstitusionalitas,
Pasal 28 UUD 1945 tegas menjamin kebebasan
berserikat. Ini bermakna pula kebebasan mendirikan partai.
Begitu juga UUNomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik begitu memuliakan
parpol. Betapa tidak pada Pasal 10 ayat (2) huruf c UU Partai, salah
satu tujuan partai adalah “membangun etika dan
budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara”. Begitu luhur tujuan tadi, sampai
sulit diraih dalam realitas.
Dengan bangun dasar konstitusionalitas di atas, pikiran-pikiran anti partai dan
ingin membubarkan partai nyaris tidak mendapat tempat.
Dengan bangun dasar konstitusionalitas di atas, pikiran-pikiran anti partai dan
ingin membubarkan partai nyaris tidak mendapat tempat.
Meskipun
Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24 C UUD
1945 dan UU Partai, memiliki kewenangan membubarkan partai bila melanggar Konstitusi dan UU Partai. Namun, rasanya itu pun tidak mudah. Sebab, selain menyangkut rumitnya konstruksi yuridis, MK dipastikan tidak gegabah dalam memutus mengingat dampaknya bagi kesinambungan demokrasi.
1945 dan UU Partai, memiliki kewenangan membubarkan partai bila melanggar Konstitusi dan UU Partai. Namun, rasanya itu pun tidak mudah. Sebab, selain menyangkut rumitnya konstruksi yuridis, MK dipastikan tidak gegabah dalam memutus mengingat dampaknya bagi kesinambungan demokrasi.
Skenario Penyelamatan
MUDAH diduga, publik sangat muak
dan marah atas maraknya korupsi kader
partai. Bagi publik, korupsi partai telah mencoreng demokrasi dan nilai luhur kebangsaan. Tak banyak skenario tersedia untuk menyelamatkan demokrasi dari korupsi. Dalam pandangan penulis,ada tiga skenario yang wajib ditempuh. Pertama, memastikan hukum berjalan di atas bantal asas keadilan, kepastian, ketertiban dan nilai-nilai hukum itu sendiri. Bukan balas dendam, titipan
atau sinyal dari langit. Dalam konteks ini, penegak hukum harus bisa meyakinkan dan membuktikan pada publik,hukum otentik di atas asas tadi. Penanganan bocornya Sprindik KPK pada kasus Anas menjadi batu uji atas tegaknya hukum otentik tadi. Kedua, melakukan audit demokrasi
secara mendasar, seperti mengamputasi mahalnya biaya politik dalam pemilu.
Menyederhanakan partai sesuai desain sistem presidensial. Mendorong transparansi dan kemandirian finansial partai. Semua tindakan ini harus dilakukan secara tepat, terukur, dan menghujam ke jantung permasalahan. Ketiga, memperbaiki sistem kepartaian dengan lebih mendekatkan partai pada
konstituen. Suara publik harus diperhatikan. Generasi muda yang berkualitas
dan bebas dari korupsi perlu diprioritas-kan di posisi strategis partai. Di sisi lain,
tokoh-tokoh senior partai sudah waktunya mendorong generasi baru untuk muncul ke depan. Dengan begitu, publik tidak lagi disodori muka-muka lama dengan kapasitas dan kualitas yang sudah diketahui rekam jejaknya di masa lalu. Tiga hal di atas bukan resep mujarab sekali sembuh. Namun, rasa-rasanya tidak ada jalan lain. Anti partai sudah begitu kuat. Elektabilitas parta-partai besar yang tersandung korupsi dipastikan makin menurun. Golput bisa
jadi menguat. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembenahan selagi bisa.
Dengan begitu demokrasi bisa diselamat-kan. (Penulis adalah Staf Ahli Komite
III DPD RI dan Dosen FH Universitas Pakuan Bogor)
partai. Bagi publik, korupsi partai telah mencoreng demokrasi dan nilai luhur kebangsaan. Tak banyak skenario tersedia untuk menyelamatkan demokrasi dari korupsi. Dalam pandangan penulis,ada tiga skenario yang wajib ditempuh. Pertama, memastikan hukum berjalan di atas bantal asas keadilan, kepastian, ketertiban dan nilai-nilai hukum itu sendiri. Bukan balas dendam, titipan
atau sinyal dari langit. Dalam konteks ini, penegak hukum harus bisa meyakinkan dan membuktikan pada publik,hukum otentik di atas asas tadi. Penanganan bocornya Sprindik KPK pada kasus Anas menjadi batu uji atas tegaknya hukum otentik tadi. Kedua, melakukan audit demokrasi
secara mendasar, seperti mengamputasi mahalnya biaya politik dalam pemilu.
Menyederhanakan partai sesuai desain sistem presidensial. Mendorong transparansi dan kemandirian finansial partai. Semua tindakan ini harus dilakukan secara tepat, terukur, dan menghujam ke jantung permasalahan. Ketiga, memperbaiki sistem kepartaian dengan lebih mendekatkan partai pada
konstituen. Suara publik harus diperhatikan. Generasi muda yang berkualitas
dan bebas dari korupsi perlu diprioritas-kan di posisi strategis partai. Di sisi lain,
tokoh-tokoh senior partai sudah waktunya mendorong generasi baru untuk muncul ke depan. Dengan begitu, publik tidak lagi disodori muka-muka lama dengan kapasitas dan kualitas yang sudah diketahui rekam jejaknya di masa lalu. Tiga hal di atas bukan resep mujarab sekali sembuh. Namun, rasa-rasanya tidak ada jalan lain. Anti partai sudah begitu kuat. Elektabilitas parta-partai besar yang tersandung korupsi dipastikan makin menurun. Golput bisa
jadi menguat. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembenahan selagi bisa.
Dengan begitu demokrasi bisa diselamat-kan. (Penulis adalah Staf Ahli Komite
III DPD RI dan Dosen FH Universitas Pakuan Bogor)
Kamis, 14 Juni 2012
Radar Bogor Tentang Mihradi
Minggu, 01 April 2012 , 05:52:00
file:///D:/DATA%20JANUARI-FEBRUARI%202012/Radar%20Bogor%20Berita%20Mihradi.htm
JAKARTA - Kekhawatiran
partai oposisi tentang ditambahkannya pasal berisi syarat untuk
menaikkan BBM terbukti. Hanya beberapa jam setelah rapat paripurna
selesai, berbagai pihak bersiap untuk “mengudeta” pasal 7 ayat 6 huruf a
APBN-P 2012 itu. Gugatan ke Mahkmah Konstitusi (MK) pun disiapkan
karena pasal itu dianggap bertentangan.
Sebelumnya, pasal tersebut diprotes politisi dari partai oposisi dalam rapat paripurna DPR, Sabtu (31/3) dini hari. Pasal tersebut dianggap pasal “setan” karena bertentangan dengan pasal 7 yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM. Pasal ini dianggap akal-akalan dan sengaja diselipkan agar pemerintah memiliki peluang menaikkan harga BBM.
Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Dia mengaku bakal langsung melakukan gugatan ke MK begitu perubahan undang-undang itu disahkan presiden. Menurut mantan Menteri Kehakiman dan HAM era presiden Megawati itu, tambahan huruf a menabrak Pasal 33 UUD 1945. “Sudah saya telaah dan menabrak UUD,” ujarnya.
Pelanggaran yang dimaksud Yusril adalah, pasal itu bertentangan dengan keputusan MK terhadap Pasal 28 UU Migas. Putusan MK menjelaskan kalau harga BBM tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Yusril menganggap kalau keberadaan pasal baru itu berarti menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar.
Seperti diberitakan sebelumnya, sidang paripurna menyepakati penambahan pasal berisi syarat kenaikan BBM. Yakni, dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen, pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan. Namun, oposisi menolak tambahan pasal karena dianggap inskonstitusional.
Saat sidang paripurna berjalan, Fraksi PDIP menganggap pasal itu siluman karena membohongi rakyat. Sebab, BBM pasti naik karena ICP Maret sudah mencapai USD 126 per barel. Di samping itu, tambahan pasal bakal memicu polemik baru di MK karena mudah ditumbangkan saat judicial review.
Nah, Yusril melihat celah besar dari pasal 7 ayat 6 huruf a tersebut. Dia yakin MK bakal membatalkan karena pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat. Disamping itu, dia juga memastikan telah dicederainya asas kepastian hukum dan keadilan. “Saya sedang menyiapkan draf uji formil dan materiilnya,” imbuhnya.
Namun, dia mengatakan kalau draf tersebut belum bisa diserahkan dalam waktu dekat. Yang pasti, begitu presiden mengesahkan perubahan undang-undang itulah saat tepat untuk memasukkan gugatan. Legal standing untuk mengajukan perkara tersebut adalah beberapa pengguna BBM bersubsidi yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar tambahan pasal itu.
Di samping itu, Yusril juga memastikan sudah memiliki banyak dukungan dari kalangan akademisi maupun pengacara. Untuk lawyer, mantan Mensesneg itu menyebut Dr Irman Putra Sidin, Dr Margarito Kamis, Dr Maqdir Ismail dan Dr Teguh Samudra sebagai pendukungnya. “Untuk ahli ada Professor Natabaya (Guru Besar Tata Negara UI, red),” terangnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin sepakat dengan langkah Yusril untuk melakukan judicial review. Pemerintah dinilai mencari alasan pembenaran rencana menaikkan BBM karena pasal 7 ayat 6 huruf a tidak menyelesaikan polemik. “Uji konstitusional memang perlu dilakukan,” terangnya kepada Jawa Pos.
Menurut dia, alasan subsidi BBM lebih baik digunakan rakyat miskin daripada rakyat kaya yang memiliki kendaraan juga dinilai tak rasional. Sebab, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan subsidi sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan memelihara fakir miskin adalah kewajiban lain di Pasal 34 UUD.
Dua hal berbeda itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah secara bersamaan. Bukan karena ingin memelihara fakir miskin dan anak telantar, lantas subsidi dicabut atau dikurangi. Kalau itu dilakukan, berarti pemerintah tidak menjalankan amanat pasal 33.
Kalau pun kenaikan sudah tidak terelakkan lagi, Irman menyarankan kepada presiden untuk memberikan pemahaman kepada rakyat. Tetapi, bukan berarti tidak ada taruhannya. Dia menyebut kalau presiden tidak hati-hati, jabatannya bisa berhenti sebelum waktunya. “Pasal itu tidak hanya tumpang tindih, tapi komplikasi seperti penyakit,” tegasnya.
DPR Lalai
Munculnya dua opsi mengenai pasal 7 ayat 6 a dalam RUU APBN-P 2012 ditanggapi Pakar Hukum Tata Negara dari Univesitas Pakuan (Unpak), Muhammad Mihradi. Ia mengatakan, keputusan untuk menambahkan poin a dalam pasal 7 ayat 6 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN. Selain itu juga, telah mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri dalam putusan mengenai pembatalan Pasal 28 ayat 2 UU No. 22/2001 Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menyebutkan penentuan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar masih berlaku hingga kini. MK membatalkan pasal tersebut pada 15 Desember 2004.
“Aturan yang dibatalkan MK intinya melarang penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar. Ini karena Pasal 28 Ayat 2 itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Jika benar pasal 7 ayat 6a menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan MK, maka DPR telah berbuat kesalahan besar,” terangnya.
Menurut Mihradi, jikapun harus menempuh mekanisme hukum, tentunya harus menunggu dulu hingga undang-undang tersebut telah disahkan dan masuk dalam lembaran negara. Karena telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga pembatalan Pasal 7 ayat 6Aa bisa saja terjadi. (rur/ara/jpnn)
Sebelumnya, pasal tersebut diprotes politisi dari partai oposisi dalam rapat paripurna DPR, Sabtu (31/3) dini hari. Pasal tersebut dianggap pasal “setan” karena bertentangan dengan pasal 7 yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM. Pasal ini dianggap akal-akalan dan sengaja diselipkan agar pemerintah memiliki peluang menaikkan harga BBM.
Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Dia mengaku bakal langsung melakukan gugatan ke MK begitu perubahan undang-undang itu disahkan presiden. Menurut mantan Menteri Kehakiman dan HAM era presiden Megawati itu, tambahan huruf a menabrak Pasal 33 UUD 1945. “Sudah saya telaah dan menabrak UUD,” ujarnya.
Pelanggaran yang dimaksud Yusril adalah, pasal itu bertentangan dengan keputusan MK terhadap Pasal 28 UU Migas. Putusan MK menjelaskan kalau harga BBM tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Yusril menganggap kalau keberadaan pasal baru itu berarti menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar.
Seperti diberitakan sebelumnya, sidang paripurna menyepakati penambahan pasal berisi syarat kenaikan BBM. Yakni, dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen, pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan. Namun, oposisi menolak tambahan pasal karena dianggap inskonstitusional.
Saat sidang paripurna berjalan, Fraksi PDIP menganggap pasal itu siluman karena membohongi rakyat. Sebab, BBM pasti naik karena ICP Maret sudah mencapai USD 126 per barel. Di samping itu, tambahan pasal bakal memicu polemik baru di MK karena mudah ditumbangkan saat judicial review.
Nah, Yusril melihat celah besar dari pasal 7 ayat 6 huruf a tersebut. Dia yakin MK bakal membatalkan karena pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat. Disamping itu, dia juga memastikan telah dicederainya asas kepastian hukum dan keadilan. “Saya sedang menyiapkan draf uji formil dan materiilnya,” imbuhnya.
Namun, dia mengatakan kalau draf tersebut belum bisa diserahkan dalam waktu dekat. Yang pasti, begitu presiden mengesahkan perubahan undang-undang itulah saat tepat untuk memasukkan gugatan. Legal standing untuk mengajukan perkara tersebut adalah beberapa pengguna BBM bersubsidi yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar tambahan pasal itu.
Di samping itu, Yusril juga memastikan sudah memiliki banyak dukungan dari kalangan akademisi maupun pengacara. Untuk lawyer, mantan Mensesneg itu menyebut Dr Irman Putra Sidin, Dr Margarito Kamis, Dr Maqdir Ismail dan Dr Teguh Samudra sebagai pendukungnya. “Untuk ahli ada Professor Natabaya (Guru Besar Tata Negara UI, red),” terangnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin sepakat dengan langkah Yusril untuk melakukan judicial review. Pemerintah dinilai mencari alasan pembenaran rencana menaikkan BBM karena pasal 7 ayat 6 huruf a tidak menyelesaikan polemik. “Uji konstitusional memang perlu dilakukan,” terangnya kepada Jawa Pos.
Menurut dia, alasan subsidi BBM lebih baik digunakan rakyat miskin daripada rakyat kaya yang memiliki kendaraan juga dinilai tak rasional. Sebab, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan subsidi sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan memelihara fakir miskin adalah kewajiban lain di Pasal 34 UUD.
Dua hal berbeda itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah secara bersamaan. Bukan karena ingin memelihara fakir miskin dan anak telantar, lantas subsidi dicabut atau dikurangi. Kalau itu dilakukan, berarti pemerintah tidak menjalankan amanat pasal 33.
Kalau pun kenaikan sudah tidak terelakkan lagi, Irman menyarankan kepada presiden untuk memberikan pemahaman kepada rakyat. Tetapi, bukan berarti tidak ada taruhannya. Dia menyebut kalau presiden tidak hati-hati, jabatannya bisa berhenti sebelum waktunya. “Pasal itu tidak hanya tumpang tindih, tapi komplikasi seperti penyakit,” tegasnya.
DPR Lalai
Munculnya dua opsi mengenai pasal 7 ayat 6 a dalam RUU APBN-P 2012 ditanggapi Pakar Hukum Tata Negara dari Univesitas Pakuan (Unpak), Muhammad Mihradi. Ia mengatakan, keputusan untuk menambahkan poin a dalam pasal 7 ayat 6 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN. Selain itu juga, telah mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri dalam putusan mengenai pembatalan Pasal 28 ayat 2 UU No. 22/2001 Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menyebutkan penentuan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar masih berlaku hingga kini. MK membatalkan pasal tersebut pada 15 Desember 2004.
“Aturan yang dibatalkan MK intinya melarang penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar. Ini karena Pasal 28 Ayat 2 itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Jika benar pasal 7 ayat 6a menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan MK, maka DPR telah berbuat kesalahan besar,” terangnya.
Menurut Mihradi, jikapun harus menempuh mekanisme hukum, tentunya harus menunggu dulu hingga undang-undang tersebut telah disahkan dan masuk dalam lembaran negara. Karena telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga pembatalan Pasal 7 ayat 6Aa bisa saja terjadi. (rur/ara/jpnn)
Langganan:
Postingan (Atom)